Bismillaah,
T O N E D E A F
Salah satu dari nilai universal syariat Islam adalah ihtimam (peduli). Saat ini, sikap peduli ini menjadi barang langka di tengah kehidupan manusia yang nafsi-nafsi.
Dari Hudzaifah bin Yaman RA., Rasulullah SAW. bersabda, ”Siapa yang tidak ihtimam (peduli) terhadap urusan umat Islam, maka bukanlah golongan kami.” (HR. Thabrani).
Dan firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. 49:10).
Ihtimam atau kepedulian, perhatian dan keprihatian kepada nasib rakyat menunjukkan kepekaan hati dan jiwa seseorang terhadap siapapun yang menderita, terzhalimi atau sakit. Ketika itu ia akan merasakan apa yang sedang dialami saudaranya. Kemudian berupaya memberikan bantuan sesuai kemampuannya.
Di sisi lain, awal kemunculan istilah “tone deaf” menunjuk kepada seseorang yang tidak bisa mengenali nada musik dengan baik (tuli nada). Berjalan waktu, istilah tersebut berkembang dan kemudian digunakan dalam berbagai konteks lain, termasuk politik.
Dalam konteks politik, istilah tersebut bisa dimaknai untuk menggambarkan ketidakpekaan seorang pemimpin terhadap perasaan, kebutuhan atau situasi yang sedang dihadapi rakyatnya.
Mereka yang mengidap "tone deaf" sering kali mengeluarkan narasi, pernyataan bahkan tindakan yang menunjukkan kurang peduli, empati atau simpati terhadap apa yang sedang dirasakan rakyatnya. Misalnya, seorang pejabat negara memberikan komentar yang tidak pantas atau tidak relevan, ketika rakyat sedang mengalami krisis, ia bisa disebut "tone deaf."
Dalam dunia politik, menjadi "tone deaf" dapat merusak citra seorang pemimpin atau marwah partainya dan mendegradasi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Ketidakpekaan terhadap sentimen publik dapat mengurangi dukungan dan memicu kritik luas.
Alih-alih memiliki kepekaan sosial dan emosional yang baik, beberapa hari ini rakyat kita sedang dipertontonkan dengan ucapan blunder salah seorang calon Wakil Gubernur Jakarta, yang merendahkan derajat Nabi Muhammad SAW. sebagai pengangguran, menikahi janda kaya raya, Siti Khadijah. Meski sudah minta maaf, tetap menuai protes keras, bahkan didemo warga Jakarta.
Juga sedang viral, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, yang baru dilantik dua pekan lalu, menyebut bahwa pelaku judi online (Judol) bukan hanya melibatkan 11 pegawai kementeriannya, tetapi juga menyasar ke institusi lain, termasuk partai politik dan pejabat yang sedang berkuasa di era presiden Prabowo.
Tidak tanggung-tanggung, pejabat PPATK menyebutkan bahwa transaksi Judol di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2024 ini telah mencapai angka Rp 283 triliun. Salah satu penyebab meningkatnya transaksi ini, karena para pejudol dapat bertransaksi dengan jumlah yang kecil.
Lebih memilukan lagi, di depan 25 juta rakyat kita yang hidup berada di bawah garis kemiskinan, para pejabat dan keluarganya menampilkan gaya hidup hedon dan permisif. Padahal fasilitas jabatan yang mereka peroleh adalah hasil keringat dan pajak rakyatnya. Ketika mereka tidak hentikan perilaku tone deaf -nya, tunggulah Allah segera mendatangkan keputusan-Nya
(QS. 9:24).
Dari tiga kasus terkini di atas, menujukkan bahwa beberapa pejabat publik kita sedang mengidap penyakit “tone deaf” yang akut. Mengapa akut? Ya, Karena hati, mata dan telinga mereka sudah tertutup rapat untuk memahami, melihat dan mendengar tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah sudah memvonis mereka sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi (QS. 7:179).
Rasulullah SAW. dan para sahabatnya adalah best practices tentang praktek ihtimam (peduli) kepada rakyatnya. Beliau-beliau adalah sosok pemimpin yang sangat peduli, perhatian dan paling banyak berkorban untuk umatnya, alih-alih mencari kesempatan dalam kesempitan (QS. 9:128).
Dan menjadi tanggung jawab moral setiap warga negara dalam sebuah negara demokrasi, untuk melakukan kritik sosial yang konstruktif kepada siapa saja, terutama para pejabat publik, yang Allah sedang berikan amanah konstitusi, tapi mereka tidak mau peduli atas jeritan, tangisan dan penderitaan rakyatnya.
Simpulan
Siapapun pemimpinnya, yang sedang mengidap penyakit ‘tone deaf’, segera sadar dan peduli (aware and care), bahwa mereka dihadirkan Allah untuk menjadi pelayan rakyatnya (nahnu khadimuhum), bukan sebaliknya.
Wallahu A’lam …
----------------------------------------------------------------
Oleh : Drs. H. Nur Alam, MA | Praktisi Pendidikan, Jum’at Penuh Berkah, 6 Jumadil Ula 1446 H./8 Nopember 2024 M. Pukul 04.55 WIB.