Selamat datang di SMA Islam PB Soedirman 2 Bekasi

Maraup Keberkahan Ilmu

Meraup Keberkahan Ilmu

            “Innal Mu’allima Wa At-Thobiiba kilaahumaa Laa Yanshohaani Idzaa Humaa Lam Yukromaa”. Sesungguhnya Guru dan Dokter tidak akan menasehatimu (Baca: Guru mengajari ilmu. Dokter, mengobati) jika keduanya tidak dihormati.

         Kalimat di atas familiar sekali di telinga, apalagi bagi seseorang yang pernah mengecap dunia pesantren. Kalimat di atas adalah salah satu bagian dari bait dalam mata pelajaran yang dipelajari di pesantren, Mahfudzhat. Berisi penekanan akan betapa pentingnya menghormati atau memuliakan guru.  Hormat pada guru adalah syarat utama menuju gerbang kesuksesan dalam belajar. Karena begitu besar peranannya, seorang ulama pernah berkata “Hormat kepada gurumu lebih penting daripada ilmu yang kau peroleh darinya”.

Sejak dahulu, para ulama kita sudah mencontohkan etika hormat kepada guru  hingga lahirlah banyak kitab yang menjelaskan bagaimana cara beretika kepada guru, seperti kitab  Ta’lim muta’allim karya Syeikh Al-Jarnuzi, Lamiyah At-Thullab, Adab Al’Alim wa Al-Muta’allim, dalam kitab Muraqil Ubudiyah Syarah Bidayah Al-hidayah Karya Syeikh Nawawi Al-Jawi juga disebutkan pasal (bagian) khusus yang menjelaskan bagaimana cara menghormati guru dan lain sebagainya.

         Disebutkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang muslim di Jepang,  diantara yang menjadi penyebab salah satu keberhasilan negeri kecil tersebut adalah beberapa lembaga pendidikan sering mengadakan ceremonial khusus setelah kelulusan yaitu mencuci kaki para guru guna mengapresiasi mereka atas ilmu yang sudah diberikan. Memang begitulah seharusnya, jauh sebelum Jepang melakukan demikian, ulama - ulama kita sudah mengajari bagaimana beradab dan beretika dengan seorang guru.  Para ulama kita dulu, berlomba- lomba meraup keberkahan ilmu dari sikap ta’zhim kepada orang yang telah mengajari ilmu tersebut. Terbukti dari untaian kata dan perbuatan mereka di bawah ini:

Imam Ali bin Husein Al-Atthas pernah berkata “Sesungguhnya ilmu dan pemahaman yang didapat seseorang itu sesuai dengan kadar adab kepada gurunya (Disamping kejuhudan pada belajarnya). At-ta’diib qabla At-ta’allum, hormat kepada guru sebelum belajar”.

     Dulu, anak Khalifah Harun Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Ma’mun mereka berlomba berebut siapa yang lebih dulu memakaikan sendal gurunya Imam Al-Kisa’i (Ulama Qiroat Sab’ah dan Nahwu dari Kuffah) sampai-sampai sang guru berkata “Sudah jangan berebut! Masing-masing dapat sebelah.”

Imam Abu Hanifah setelah kepergian gurunya, Hammad Al-Kufi (dari kalangan tabi’in) tidak pernah Absen untuk mendo’akannya dan orang tuanya setelah shalat.

Imam Ad- Dunya Al-Imam As- Syafi’i berkata:” Ketika belajar dengan Imam Malik, saya kebet kitab saya secara perlahan agar Imam malik tidak mendengar dan tidak merasa terganggu”.

Imam Ar-Rabi’ (Murid Imam Syafi’i) berkata: “Saya tidak pernah minum di depan guru saya, Imam Syafi’i. Guna menjaga kewibawaan beliau”.

Suatu hari, Imam Nawawi diundang makan oleh gurunya Imam Al- Irbily (Murid Ibnu Sholah, Shohibul Muqoddimah) dan beliau berkata “Wahai guru maafkan saya tidak bisa memenuhi undanganmu karena adanya udzur”. Salah seorang sahabatnya bertanya “Udzur apa?”. Imam Nawawi menjawab “Saya takut makan daging yang guru saya ingin memakannya lebih dahulu, sedang saya tak merasa”.

       Dan masih banyak lagi kisah-kisah ulama yang mengajarkan bagaimana beradab dan beretika kepada guru. Maka lihatlah setelah itu, mereka menjadi orang-orang besar nan mulia. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mereka menjadi pendiri Mazhab. Begitupun Imam Nawawi, beliau menjadi salah seorang Umdatul Mazhab. Dan dengan karya-karya mereka jagat raya ini menjadi terang benderang.
Masya Allah!

        Rasul SAW bersabda “Pelajarilah ilmu, pelajarilah ilmu dengan ketenangan dan sikap hormat serta ketawaddhuan kepada orang yang mengajarimu”. Ilmu tidak akan diperoleh secara sempurna kecuali dengan diiringi sikap tawadhu murid terhadap gurunya. Karena keridhaan guru terhadap murid akan membantu proses penyerapan ilmu. Sikap tawaddhu dari seorang murid terhadap guru merupakan cermin ketinggian sifat murid terhadap guru.

        Guru adalah orang tua pengganti di sekolah. Nabi Muhammad dalam sabdanya mengatakan orang tua ada tiga: Satu, Orang tua yang telah melahirkan dan merawat kita di rumah yaitu ibu papak kita. Dua, orang tua yang telah mendidik dan mengajarkan kita ilmu yaitu guru di sekolah. Tiga, yaitu mertua kita. Maka sudah seyogyanya kita memuliakan guru kita sebagaimana memuliakan otang tua kita. Dalam Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dijelaskan “Hak para guru lebih besar daripada hak orang tua. Orang tua merupakan sebab kehadiran manusia di dunia fana, sedangkan guru bermanfaat bagi manusia untuk mengarungi kehidupan kekal. Kalaulah bukan karena jerih payah guru, maka usaha orang tua akan sia-sia dan tidak bermanfaat. Karena para guru yang memberikan manusia bekal menuju kehidupan akhirat yang kekal”. (Red: Wifa El-Khairah R.)

 

 

 

 

Bagikan :

Komentar

Tambah Komentar (0)

Batal

Balas Komentar

Komentar Berhasil diterbitkan
Komentar tidak dapat diterbitkan Silakan coba lagi..!
Alamat email yang anda masukkan salah..!
Alamat web yang anda masukkan salah..!
Kode Captcha yang anda masukkan salah...!
Bidang tidak boleh ada yang kosong....!